Irisan Lemon Part 2

Irisan Lemon

Part II


“Risty! Maaf kalo kakak menyinggung perasaan kamu. Tapi ini buat kebaikan kamu sendiri. Btw, makasih pancake coklat kejunya. Enak parah ini.”
            Kaki kiriku berhenti berjalan dan ku tengok asal suara itu perlahan, terlihat sunggingan senyum tulus dari bibir tipisnya yang sedikit ternodai krim coklat dari pancake yang ku bawakan. Lalu kubalas senyuman itu dan kubalikan badanku ke arah ia berada. “Terimakasih kak dayu, bahkan kakak terlalu baik menasihatiku seperti ini. Aku yang seharusnya meminta maaf atas ke agresifanku bertanya tentang sesuattu yang seharusnya tdak kutanyakan. Maaf kak.” Ujarku. “Kakak tau bagaimana perasaan kamu diposisi itu. Yang perlu kamu ingat adalah aku dan Jefran sangat sibuk, kami sedang skripsi dan lagi Jefran sedang sangat patah hati jadi kamu, ris, berhenti berharap padanya. Aku kenal betul Jefran.” Kata kak Dayu terbata-bata.

*****
            Rumput dilapangan sepak bola disebrang jalan sore ini tidak begitu terlihat hijau. Dari kejauhan rumput-rumput itu berwarna hijau muda kecoklatan. Bunga-bunga akasia ditepi lapangan ini pun meneteskan satu-dua tetes air sejuk sisa dari hujan tadi siang. Tak heran rumput lapangan berbaur dengan cipratan tanah yang dibasahi hujan. Entah mengapa sore ini terasa lebih menyakitkan dengan pemandangan indah seperti ini.
“Pfttt….” Kuhembuskan nafas pendek dari bibirku. Sesekali kutengok langit biru diatas lapangan, begitu sejuk, terbasuh sudah kesedihanku. Akhir-akhir ini hari terasa berat bagiku karena aku tak pernah bisa melihat seseorang yang kukagumi, ia menghilang tanpa ada informasi apapun yang bisa kutemukan. Tidak aku tidak terobsesi, aku juga bukan psikopat aku hanya ingin ada didekatnya saat dia terluka. Agar aku bisa ikut merasakan bagaimana perihnya luka yang ia derita. Aku takkan hadir dalam kebahagiaannya, aku berjanji. Jika memang ia akan kembali pada cintanya, yang pernah merobek-robek hatinya dan ia bisa kembali hidup dengan normal seperti dahulu aku berjanji aku takkan mengganggu kebahagiaannya. Tetapi, hari ini adalah hari terberat bagiku, karena dengan sangat jelas kudengar dari salah seorang sahabat bahwa aku harus berhenti ikut merasakan luka yang ia derita. Ia, Jefran ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan menikmati lukanya sendirian.

Ini lebih perih dari apapun, Jefran, bagiku, mencintaimu sendirian adalah bagian terhebat dari sebuah kisah cinta dan tak bisa ikut merasakan luka yang kau rasakan adalah bagian terburuk dikisahku. Hatiku terus bergumam tanpa henti, logika ku terus memikirkan dampak-dampak nyata dari hal yang telah kulakukan, mereka seakan berbisik dan saling sahut-menyahut. “Ahhh shit!!!” jeritku gemas. “Sudah ris percaya, kamu takkan mati tanpa melihat Jefran! Lagipula aku hanya akan menyakiti diriku sendiri bukan? dengan melihat Jefran yang masih belum mau kehilangan cerita masalalu menyedihkannya. Huhh!” kataku sambil memukul kepalaku beberapa kali. Sedikit terasa pening, kurasa pukulanku cukup kuat hingga kugeleng-gelengkan kepalaku untuk mengembalikan penglihatanku yang sempat kabur 0,5 detik karena pukulan dikepala. Kulihat brosur Universitas Bina Bangsa yang sudah basah dan kotor terkena hujan dibawah kakiku. Mungkin pemiliknya tak sengaja menjatuhkan brosur ini di kursi taman tepi lapangan sepak bola yang kini tengah kududuki. Darisini, tempatku duduk kubaca brosur itu tanpa memegangnya hanya sedikit menundukkan tengkuk leherku, dilembar pertama kulihat seorang lelaki berprestasi dengan senyum yang sangat manis, ia memegang sebuah medali yang tergantung dilehernya berserta tiga teman laki-laki disampingnya memegang piala serta robot kecil. Mereka mahasiswa berprestasi dari Kampus itu dan menjadi cover brosur. Sekali lagi kutundukan punggung juga kepalaku agar lebih dekat dengan brosur itu, mencoba melihat lebih jelas “Wuaahhhh Jefran!!” mataku terbelalak, mulutku menganga tanpa sadar tanganku pun menggaruk-garuk kepalaku walaupun tidak ada rasa gatal. “Hiiihhh! Baru mau dilupain!” gumamku kesal. Mataku kembali terbelalak “Astaghfirullah.. nanti malam belajar kelompok tugas Bahasa Indonesia! Ahh jam berapa sekarang?!” kulihat arloji ditanganku, sepersetengah detik aku langsung beranjak dan berlari. Setelah beberapa langkah ku putar balik arahku, memungut brosur yang basah itu lalu kembali dan melanjutkan perjalanan pulangku.

*****
Malam ini sungguh sangat cerah, langit biru tua itu dihiasi kerlingan sinar bintang-bintang, bulan sabit yang melengkung sempurna ikut menambah cerahnya dunia yang kejam ini. Semilir angin malam yang menyentuh lembut dedaunan dihalaman belakang rumah Claudia juga terasa begitu halus menyapa, hingga gemerincing hiasan pintu diteras belakang ikut menyemarakan indahnya malam ini. Dilingkaran ini, kami masih bergelut dengan tugas naskah drama yang diberikan oleh Bu Yuli, beberapa dari kami memberikan ide-ide untuk alur cerita, beberapa sibuk dengan gadgetnya, sibuk bergosip, sibuk menghabiskan cemilan yang diberikan oleh ibu Claudia dan aku sibuk melamun melihat ke langit dari teras sambil menguap, sesekali berpura-pura membaca catatanku dan kembali melamun menghadap langit malam. “Kamu itu terlahir buat melamun ya ris? Ini minum dulu jusnya nanti keburu esnya mencair loh” Sapa Claudia membangunkanku dari lamunan kosong. “Mmm.. kami jadi merepotkan ibumu clau, terimakasih ya.” Sahutku. “Risty masih jalan ditempat pada khayalan cinta gilanya ya, clau?” Tanya Caca. Mataku dengan cepat melirik tajam kearahnya, entah seperti apa tatapan ini dilihat oleh teman-temanku tetapi aku sungguh muak mendengarkan cibiran Caca yg tak begitu mengenalku. “Cinta itu tidak ada yang gila ca, hanya sudut pandangmu saja yang membuat cinta itu terlihat gila.” Tukas Claudia. “Tahu apa kita soal cinta clau? Umur kita saja belum genap 17tahun.” Ujar Caca. “Tahu apa kamu soal cinta gila ca? Umurmu saja belum genap 17tahun.” Cibirku.

Tatapan-tatapan tajam yang sudah mulai mendidih antara aku dan Caca membuat suasana semakin gerah, bulir-bulir keringat di gelas jus semakin deras membasahi meja kayu berwarna hitam dihadapan kami. Semilir angin semakin kencang terasa membuat gemerincing hiasan pintu terdengar riuh seakan menjadi backsound tatapan kami. “Seorang pelajar SMA yang menyukai mahasiswa tingkat akhir sudah jelas gila bukan? Dan lagi ia tak menganggapmu lebih dari seorang adik. Berhentilah memberi pancake dan mencoba mendekatinya. Kau katakan padaku waktu itu, kau tidak merugikan siapapun selain dirimu. Kau salah! Jelas pria itu rugi waktu karena ketidakpentinganmu.” Tukasnya tegas.

Aku terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Caca. Tatapan yang semula setajam pisau menatap caca kini berubah menjadi tatapan ragu menatap sahabatku Claudia. Apa benar, ini hanya ketidakpentinganku yang merugikan orang lain? Apa benar ini hanya nafsu yang menggebu-gebu dari hatiku? Tapi tunggu sebentar? Pancake?? “Kurasa kau benar, aku hanya bocah kecil yang tak seharusnya menyukai mahasiswa tingkat akhir. Tak seharusnya aku membuang-buang waktu orang lain. Kau benar, aku takkan melakukan itu lagi, membuang waktu untuk menyukai mahasiswa yang bahkan tak pernah melihatku ada. Tetapi aku menyadari satu hal darimu, kau tidak mengenaliku lebih dari hanya seorang teman sekelas. Kau hanya penggosip yang mencampuri urusan orang lain yang kau sendiri tak melihatnya dengan kedua matamu. Perlu kau tahu, Kak Dayu adalah sahabatku. Dia bukan Pria yang aku sukai.” Ungkapku panjang lebar. Ku tutup buku yang sebelumnya terbuka, ku minum jus mangga yang dibuatkan oleh ibu Claudia. Setidaknya rasa manis dan dingin dari jus mangga ini bisa mendinginkan emosiku juga. Kulirik wajah Caca yang mengerutkan keningnya, menggempalkan telapak tangannya dan bernafas panjang sejenak lalu ku lanjutkan meminum jus mangga sembari menatap Claudia. “Puk..Puk..Puk..” Claudia menepuk-nepuk pundakku agar aku tak tersedak. “Ayo kita selesaikan tugas kita segera, aku berharap setelah ini aku tak pernah satu kelompok dengan Risty dan Claudia lagi.” Ungkap Caca.

*****
Masih kupandangi brosur lusuh yang kupungut ketika hujan waktu itu, senyum bahagia yang manis itu sudah lama sekali tak pernah ku lihat. Aku sangat merindukan senyum indah itu, senyum yang selalu lebar menawan. PR sejarah diatas meja belajarku seakan tak berarti, kalah menarik dari selembar brosur lusuh. Aku tak pernah tahu alasan mengapa semakin hari, semakin aku tak pernah melihatnya aku malah semakin menyukainya. Sudah hampir 3minggu setelah perdebatanku dengan Caca tentang perasaanku yang ia bilang hanya sebuah ketidakpentingan yang merugikan pihak terlibat. Sudah 1 bulan sejak menghilangnya Jefran dari hari-hariku. Seharusnya pun sudah selesai rasa suka sia-sia yang setiap hari kutebarkan lewat senyum dibalik payung putihku. Tetapi tidak, setelah perdebatanku dengan Caca aku menyadari bahwa aku hanya perlu waktu untuk bisa menempatkan perasaanku dengan benar, aku tak harus berhenti mencintai Jefran. Aku hanya harus menyerah dalam berharap bisa memilikinya suatu saat nanti. Setelah sekian lama aku tak pernah melihat senyumnya lagi, dan perasaan itu semakin kuat aku menjadi lebih yakin untuk mencintainya dalam diamku. Tanpa ada satu orangpun yang tau, tanpa ada satu abjadpun keluar dari mulutku untuknya.

Satu bulan lagi tepat hari ujian nasionalku, aku jadi teringat awal mula aku bertemu dengan Jefran dan menyukai ia apa adanya. Kututup buku sejarahku, ku nyalakan musik di komputer untuk membantu membangun suasana nostalgiaku. Hanya beberapa kali mengklik mouse, lagu berjudul Photograph yang dinyanyikan Ed Sheeran terputar merdu. Seperti biasa kumulai lamunan-lamunanku, nostalgia setahun lalu saatku mengenal Jefran. Seorang pria dengan flanel hitam-putih menggendong ransel dipundak kirinya duduk terdiam merunduk di bangku taman kota sebelah perpustakaan daerah. Aku yang baru saja membeli es krim untuk kunikmati sembari menunggu Claudia masih melihat kekanan-kekiri berharap ada sisa bangku kosong untuk kududuki, hari itu taman kota ramai hanya bangku yang pria itu duduki yang tersisa. Dengan cepat aku hampiri bangku itu karena es krim yang ku pegang semakin mencair terkena angin, lalu...
“Kriiingg...” belum selesai lamunanku, telepon genggamku berbunyi, panggilan dari Claudia rupanya. “Iya hallo clau, ada apa?” jawabku. “Ris, Ris, kamu bisa tebak apa yang akan aku sampaikan ke kamu malam ini? Kamu pasti terkejut dan tidak pernah menyangka atas hal ini ris!” sahutnya penuh semangat. “Memang apa Clau?” tanyaku. “Aku sekarang sedang di.. tuutt..tuutt..tuutt...” telepon terputus. “Hall..hallo? Clau??? Mati? Yah merusak lamunanku saja...” gumamku.

 Aku masih berusaha mengingat sampai mana lamunan nostalgiaku saat pertama kali bertemu Jefran. “Hmmm.. Jef, pergi jauh-jauh sana.” Bisikku. Haruskah aku terus memikirkan dia dalam setiap hariku? Haruskah aku memikirkan bagaimana kabarnya, bagaimana harinya, sudah sembuhkah lukanya sedangkan ia mungkin tak pernah sejauh ini memikirkanku? Bodohkah aku yang berniat mencintai dia hanya dalam diamku? Bukankah mencintai dalam diam adalah hal terindah yang pernah ada dibumi ini? Bahkan dalam setiap doa ku aku hanya mengharapkan kebahagiaannya kembali, dan aku bisa ikut merasakan keterpurukannya. Aku tidak mengharapkan aku akan menjadi seseorang yang baru baginya, aku tidak ingin mengkhayal sesuatu yang diluar kemampuanku. Aku hanya akan menjalani apa yang ada didepanku, jika itu bahagia beruntunglah aku, jika itu sedih jadilah pelajaran buatku. Aku tak akan menyesali apapun yang telah terjadi. Aku berjanji.



No more expectations.. just gonna go with the flow, and whatever happens, happens.




Komentar

Postingan Populer