Irisan
Lemon
Part
I
“Jangan
tertawakan aku! Mungkin aku sedikit terlihat gila, tapi aku bukan psikopat. Dan
perlu kau ingat aku tidak pernah merugikan siapapun selain diriku!”
Aku terus berjalan membawa payung putihku,
meski hujan tak sederas sebelumnya aku masih menggenggam erat payung untuk
melindungi kepalaku dari tetesan-tetesan air hujan. Tak pernah kubayangkan,
seseorang yg aku kenal berkepribadian baik dan supel tega mencibirku seperti
itu. Langkah yang semakin cepat, hentakan kakiku yg semakin keras membasahi
celana jogger abu-abuku, biarlah cipratan genangan air itu mengotori ujung
celanaku sebagai saksi bahwa aku tengah kecewa dibawah payung putihku. Sangat
kecewa!
Aku memang sangat
mencintai pria itu, aku sangat menghargai setiap detik yang aku punya dihidupku
untuk selalu menjaga perasaannya dan mengaguminya dari jauh, bahkan mungkin aku
lebih peduli pada dirinya dibanding diriku sendiri. Tetapi haruskah temanku, ah
tidak dia bahkan belum bisa kusebut teman mencibirku seperti itu? Dia bilang
“kau gila! Dia tidak pernah sedikitpun melihat engkau ada. Sadarlah! Kau sudah
dibuang oleh Ryan karena kegilaanmu, lalu kau sekarang menggilai pria itu
dengan cara yg sama? Mengenaskan.”
“Brukkk!!!” Payung
putihku terlepas dari genggaman dan setengah terbang terbawa angin hujan, aku
terjatuh di kubangan air persimpangan jalan. “Ahh shit!!” gumamku. Celana
jogger abu-abuku kini bercorak kecoklatan, telapak tanganku penuh dengan lumpur
tanah karena menahan bobot tubuhku agar tak terjatuh lebih dalam. Lalu aku
berdiri menghampiri payung putihku yang sudah berjarak 5 meter dikiriku,
serambi terus berpikir tentang kegilaan yang dikatakan Caca. Apakah benar yang
ia katakan? Aku gila. Karena cinta? Kurasa tidak! Ia tak mengenalku dengan
benar, bahkan kami hanya pernah bersapa beberapa kali selama satu kelas
tahun-tahun belakangan ini. “Ia tak mengenalku! Aku tak boleh kecewa atas
perkataannya. Memikirkannya hanya membuang-buang tenaga dan waktuku! Tenang
Ris, jangan pikirin cibiran-cibiran orang.” Bisikku menyemangati diri sendiri.
Mentari sedang
tersipu siang ini, udara yang sedang kuhirup dari jendela kelas menghantarkan
wanginya tanah. Tanda hujan akan bertamu lagi menyejukan jiwa-jiwa sepi. Dua-tiga
kali kuhirup tiupan angin dalam-dalam dan ku hembuskan lagi perlahan. Seketika
terlintas lamunan dan harapanku akan seseorang, harapan yang pernah begitu
dalam lalu ku kendalikan harapan itu agar tak menyakiti hati manapun termasuk
hatiku sendiri. Seseorang dengan derai tawa yang sangat indah memikat siapapun
yang melihatnya. Seseorang dengan hati tulus dan penuh kasih sayang yang pernah
dilukai orang yang ia cintai. Seorang pria dengan senyum indah penuh keceriaan
yang menutupi pedih luka hatinya. Pria yang masih mengukir indah nama wanita
yang ia cintai walau hatinya telah dirobek-robek oleh wanita itu. “Hmm...”
sesekali aku menarik nafas pendek lalu menghembuskannya dengan penuh tekanan
sambil berpikir, andai wanita itu adalah aku. Takkan ku sia-siakan kesempatanku
untuk mencintainya. “hayo! Ngelamunin
apaan nih ris? Serius amat.” Suara claudia yang sengaja mengejutkanku. “Ahhh!”
balasku sambil menepuk lengannya. “kaget ya? Mikirin siapa sih? Masih bertahan
jadi irisan lemon di gelas lemontea? Siapa itu namanya? Jefran yah?” tanyanya
kepo. Aku hanya menatapnya dengan tatapan bingung, lalu ku tutup setengah
jendela kelas dan kembali ke kursiku di saf kedua banjar tiga dari depan pintu.
Irisan lemon
digelas lemon-tea? Sangat indah. Dia menghiasi gelas minuman asam manis
sederhana menjadi lebih menarik dan berwarna tetapi betapa sakitnya ia hanya
menjadi figuran. Penikmat lemon-tea hanya akan menyeruput lemon-teanya bukan
menjilati irisan lemonnya, benarkan? “miris sekali yah aku clau cuma jadi
irisan lemon” ucapku. Claudia menarik kursinya dan mencoba duduk disebelahku
entah untuk sekedar memberiku semangat atau hanya menyaksikan mirisnya
posisiku. “Ris, udah deh berhenti mengumpat. Bilang aja yang sejujurnya sama
Jefran. Mau sampe kapan kamu hargain perasaan dia sedangkan dia gak sedikitpun
tau perasaan kamu.” Kata Claudia. Aku
tertegun beberapa detik, lalu kutatap mata hangat Claudia, sahabatku, binar
matanya sangat melegakan kegelisahan hatiku. “Enggak deh clau, aku gak mau dia
jadi jauh dari aku cuma karena keagresifan aku.” Jawabku mantap. “terus sampai
kapan?” tanyanya tegas. “Sampai dia lihat aku dibelakang dia. Sampai dia bisa
menerima kenyataan bahwa hubungan dia sama mantannya udah selesai dan sampai
ada keajaiban supaya dia bisa cinta juga sama aku.” Lalu aku melipat kedua
tanganku diatas meja dan menundukan kepalaku.
“Ka Dayu! Ini
pancake coklat keju dari kedai Lebah Madu kesukaan kakak.” Kusunggingkan senyum
lebar. “Wahh... Risty lagi Risty lagi. Biasanya kalo bawain pancake ada sesuatu
yg mau ditanyakan nih. Ayo silahkan pertanyaan pertama.” Ujarnya. Masih ku
genggam payung putih kesayanganku, walau agak sedikit berdebu tapi masih
terlihat bersih. Andaikan ada noda pun mungkin akan tetap ku pakai dan masih
menjadi faforitku. Seperti biasa ku tarik nafas pendek dan menghembuskannya
dengan tekanan. Kutundukkan pandanganku dan duduk dibawah pohon ditaman Kampus
tempat dimana aku dan Kak Dayu bertemu. “Jefran gak pernah keliatan lagi kak.
Udah gak kuliah lagi?” tanyaku dengan nada terburu-buru. Kak Dayu yang lahap
memakan pancake pemberianku, seketika menoleh dan menjatuhkan badannya duduk
disebelahku. Dia masih asik menyantap pancake coklat keju kesukaannya sembari
menatapku. “Ris, fokus ujian aja ya. Jangan kotorin otak kamu sama hal-hal gak
penting kayak gini.” Jawabnya. Aku rasa Jefran akan benar-benar menghilang dari
duniaku, dari lamunanku, dan dari mimpi-mimpiku. Lagi-lagi ku sunggingkan
senyum bernada pada Kak Dayu. “Makasih kak, udah mau aku tanya-tanya selama
ini.” Aku berdiri dan mulai melangkahkan kakiku perlahan menuju rumah.
Meski
berat, kehilangan sesosok figure didalam mimpi-mimpi yang sudah aku bangun
adalah masih bagian dari hidup. Aku masih akan tetap hidup tanpa Gelas
lemon-tea ku. Aku bahkan masih bisa menjadi hiasan dipiring-piring menu
seafood. Aku terus meyakini diriku bahwa aku masih bisa hidup menjadi Irisan
Lemon tanpa gelas lemon-tea.
You’re
not only my glass of Lemontea, but also my Sunshine in the morning, which is
always Sunny, Beauty, Happy and Lonely.
Komentar