Irisan Lemon 3
Irisan Lemon
Part III
“Sebenarnya apa ya yang ingin clau
katakan? Sedang dimana dia? Ahh mungkin dia sedang di butik membeli baju-baju
keluaran terbaru.”
*****
Kulanjutkan
lamunanku, mengingat bagaimana aku bisa mengenal Jefran, mulai mengaguminya
lalu mencintainya seperti ini. Lagu yang kunyalakan di windows media player
komputerku kini tengah berganti menjadi alunan lagu yang dilantunkan Maroon
five berjudul She Will Be Love. Lantunan nada dan liriknya seakan mengerti
perasaanku saat ini. Kuingat dimana saat es krim yang kupegang di Taman Kota
sebelah Perpustakaan Daerah mulai mencair tertiup angin sore. Ku lihat arloji
ditanganku, sudah menunjukan pukul 4 sore tapi orang yang kutunggu tak kunjung
tiba. Tepat didepan mataku bangku taman yang muat untuk tiga orang hanya
diduduki seorang pria. Pria berflanel hitam putih masih merunduk, menahan
kepalanya dengan tangan kanan. Disebelahnya ada sebuah bungkusan berwarna pink
dengan motif polkadot kurasa wanita lebih pantas untuk membawa bungkusan itu
dibandingkan pria bertubuh tinggi ideal se-macho itu.
“Numpang duduk sebentar gak yah?”
tanyaku pada diri sendiri. “Iya deh sebentar saja, daripada keburu habis
mencair ini es krimnya.”
Langkah demi langkah mendekatkan ku
dengan pria yang tengah duduk dibangku taman itu. Perlahan langkah kecilku yang
sedikit ragu tetap konsisten dengan lebar langkahnya, satu langkah pertama
kuhentikan sejenak, ku lirik pria itu seolah aku sedaang menguntit, lalu ku
lanjutkan langkah keduaku. “Cesss” setetes es krim vanilla ku mencair
meninggalkan setitik noda diatas sepatu berwarna mocca ku. “Aisshh” gumamku. Ku
lanjutkan lagi langkahku menjadi tiga langkah, Empat langkah.. lima langkah.. enam
langkah.. dan...
“Hap!!” seruku tanpa sengaja.
Pria itu menoleh kearahku, melihatku
sekitar 7-8detik, menatap mataku dengan tatapan bingung dan risau. Aku hanya
bisa terdiam dan menahan malu karena mulutku tak bisa menahan ucapan konyol
yang ku lontarkan dengan sangat seru dan tanpa sadar beberapa detik lalu. Saat
dia menatapku aku hanya bisa mengerutkan keningku sembari mengangkat satu
alisku, lalu menyeringai “Hehehe..”
“Salah orang ya mbak? Gak papa gak
usah malu, saya sering kok mergokin orang yang salah orang” katanya.
“Aahh itu? Mmm anu kak, enggak salah
orang kok.”
“Ohh kamu kenal saya? Maaf maaf saya
memang agak pelupa. Kita kenal dimana ya?” tanya pria itu.
“Ah sepertinya kamu
adik kelas saya dikampus ya. Kamu mahasiswa baru ya? Kamu keliatan masih muda,
kita gak sepantar kan?” Lanjutnya.
“Bbu..bukan kak. Kita gak saling
kenal, cuma mau numpang duduk kok. Boleh? Nanti Es krim ku mencair.” Ujarku sambil
menyeringai.
Pria
itu terdiam, ia bangun dari duduknya menatapku dengan wajah serius lalu
tertawa. Ia tertawa sambil membungkukan badannya dan menutupi mulutnya dengan
lengan kanan. Lengannya semakin terlihat kekar ideal mengagumkan, terbalut
flanel hitam putih yang digulung 3/4 .
“Hahaha,
kamu konyol sekali, bisa kamu ulangi lagi?” pintanya masih sambil tertawa.
“Maksudnya? Ulangi apanya?”
“Ulangi ‘Hap!’ nya hahaha” ujarnya
tertawa. “Es kamu mencair, silahkan duduk.”
“Ah terimakasih”
Aku duduk sambil kujilati es krim
vanilla ku dengan cepat agar lelehannya tidak mengotori bajuku. Pria itu masih
tertawa kecil kemudian memposisikan dirinya duduk dibangku itu seperti semula.
Kulihat arloji ditanganku, Claudia sudah telat 10 menit tetapi tak ada satupun
kabar darinya. Hampir dua menit berlalu kami habiskan hanya dengan saling
bungkam tanpa sapa dan obrolan. Mungkin dia juga sedang mencari topik
pembicaraan sama sepertiku. Hanya ada suara teriakan tawa anak-anak kecil yang
sedang bermain di depan kami, jeritan-jeritan khas mereka membuat suasana
ditaman semakin hidup.
Haruskah
aku memulai obrolan garing agar tidak canggung seperti ini? Kulirikan mataku
kearahnya, mencoba mengamati situasi dan kondisi untuk memulai obrolan. Pria
itu sedang tertegun, tatapannya tegak lurus kedepan. Jemarinya saling
menggenggam, kedua tangannya ia posisikan didagu untuk menahan bobot kepalanya,
dan sikutnya ia pasang diatas paha sebagai pondasi. Aku masih sibuk dengan es
krimku yang kini sudah hampir habis, sesekali ku lirikan lagi bola mataku
mengarah kepadanya. Wajahnya benar-benar ideal, hidungnya mancung ideal tak
terlalu besar dan tak terlalu kecil, bibirnya sedang ideal tak terlalu tipis
dan juga tak terlalu tebal, kelopak matanya melekuk sempurna, alisnyapun
membentuk sempurna, tak begitu tebal dan tak begitu tipis. Saat itu aku
berpikir, andai saja aku bisa menemukan pemandangan wajah indah seperti ini
ketika aku sedang bersama Ryan.
Ryan? Mengapa aku tak pernah
memikirkannya diwaktu luangku, bahkan aku tak pernah merindukannya. Claudia
bilang saat dua insan saling jatuh cinta dan menjalin hubungan mereka akan
saling memikirkan dan merindukan, di setiap waktu, selalu ingin bertemu. Sepertinya
itu tak berlaku untukku kepada Ryan. Atau jangan-jangan aku tak jatuh cinta
padanya?? Lalu atas dasar apa aku menerima Ryan menjadi kekasihku? Hatiku terus
berbisik saling bersahutan. Tatapanku masih kepada pria itu, yang duduk disebelahku
yang belum aku ketahui namanya walau kini sedang duduk bersama dalam satu
bangku. Aku yang sangat mahir melamun tak sadar sedang menatap seseorang asing
sambil melamunkan pikiran-pikiran ku yang tak ada hubungannya dengan pria itu.
Hanya memandanginya lalu melamun saja sudah sangat nyaman, apalagi bisa
mengenalnya.
“Kamu kenapa?” tanya pria itu yang
tiba-tiba tersadar sedang ku pandangi.
“Ahh... anu.. apa ya? Gak papa deh
tadi gak sengaja aja hehe. Maaf” jawabku.
“Oh gitu.” Ujarnya tersenyum.
Saat iya tersenyum seketika aku
seperti es krim vanillaku yang tadi mencair. Senyumannya benar-benar membuatku
meleleh. Indah sekali, sungguh indah, aku seperti ingin membalas senyumnya lalu
berteriak. Aku hanya membalasnya dengan sedikit menyunggingkan senyum, hanya
sedikit lalu mengerutkan alisku. Bukan karena aku tak mau membalas senyum itu,
tapi karena kejadian sebelumnya saat ia memergokiku sedang menatapnya sangat
membuatku malu dan canggung. Aku langsung bergegas membuka tas ku dan mengambil
ponsel, kemudian aku mencoba menghubungi Claudia yang sudah terlambat hampir
setengah jam. Baru saja ingin aku klik tombol call ponselku berdering, tanda
pesan singkat masuk. Ternyata pesan singkat dari Claudia.
“Risty, sepertinya aku gak bisa ke Taman Kota
sekarang. Aku harus mengantar Ayahku ke Bandara. Ayahku harus berangkat ke
Makassar untuk menengok Pamannya yang sedang sakit. Maaf ya, kita bertemu lain
kali. Aku mencintaimu sahabatku.”
“Benar saja feelingku. Clau takkan
datang” gumamku.
“Maaf, apa katamu barusan?” tanya
Jefran.
“Ahh.. bukan apa-apa, hanya saja
sahabatku tidak bisa datang hari ini.” Jawabku.
“Kamu menunggu seseorang? Atau
hanya sedang menikmati sore disini?”
“Aku? Aku sedang menunggu seseorang,
tetapi sepertinya sampai besok atau lain waktupun ia tak akan pernah datang
menemuiku lagi.” Jawabnya sambil tersenyum tipis.
“Begitukah? Kenapa? Apa dia sudah
pindah ke kota lain?” tanyaku untuk
memperpanjang obrolan.
“Aku tidak yakin, tapi sepertinya
aku melakukan kesalahan padanya tanpa kusadari.” Jawabnya dengan mata
berkaca-kaca.
“Ah kita belum kenal satu sama lain, namaku Jefran. Kamu bisa ku
panggil apa?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
“A..aku, aku Risty.” Jawabku menjabat
tangannya.
“Risty, ini tolong kamu bawa. Kamu
pakai ya. Aku tak ingin ini hanya terbuang sia-sia, lagipula aku lelaki tidak
mungkin memakai barang-barang ini.” Pintanya dan memberiku bungkusan berwarna merah muda yang
ia letakan disebelahnya.
“Aa..apa ini?” tanyaku gemetar.
Ia sudah mulai beranjak dari
bangkunya, lalu menoleh ke arahku.
“Aku
mahasiswa Universitas Bina Bangsa, pakailah semua yang kuberikan itu. Siapa
tahu kita bertemu lagi tanpa sengaja lain waktu, jadi aku bisa mengenalimu.”
Ujarnya.
*****
Ia melangkahkan kakinya mengarah ke
pintu keluar Taman Kota. Dari langkahnya sepertinya ia sangat kecewa. Ia
memberikan kado untuk seseorang itu kepadaku, bahkan aku baru saja ia kenal.
Dan lagi saat aku bertanya tentang mengapa seseorang yang ia tunggu tak kunjung
datang, matanya mulai berkaca-kaca. Matanya mengungkapkan betapa sedih dan
kecewanya ia hari ini. Senyuman lirihnya pun seolah membisikan bahwa ia sangat
menyesal bila memang ia melakukan kesalahan pada seseorang yang ia tunggu.
Semenjak saat itu sampai saat ini saat aku bernostalgia akan pertemuan
pertamaku dengannya, jantungku masih berdegub lebih cepat dari biasanya saat
aku sedang bersamanya atau hanya sekedar memikirkannya.
“Aihh ada apa dengan
jantung ini! Selalu saja begitu!”
“Dan apa-apaan ini!
Mengapa Claudia menghubungiku seserius itu lalu menghilang begitu saja. Tak bias dibiarkan.”
Ku tekan beberapa
tombol di telepon selulerku, lalu panggilanku tertuju pada Claudia, hanya
beberapa saat setelah nada panggilan berbunyi teleponku terangkat.
“RISSS!!! Kamu dimana
sekarang?” tanya Claudia setengah menjerit.
“DIRUMAHH!! Haruskah
kamu mengejutkanku dengan menjerit seperti itu? Kamu dimana? Apa yg ingin kamu
sampaikan padaku tadi?” jawabku yang entah mengapa menjadi semakin penasaran.
“Ris, aku sedang berada
di sebuah Café bersama ibuku dan kamu tau aku bertemu dengan siapa? Ah,
tepatnya ini bukan bertemu hanya melihat dari seberang meja dan berusaha untuk
tak terlihat mengamati.” Ujarnya sangat cepat.
“Apakah aku mengenalnya?”
“Tentu saja ris. Untuk
apa aku memberitahumu jika kamu tak mengenalnya”
“Haruskah aku tahu
siapa orang yang kau maksud clau?”
“Percayalah, instingku
tak bagus tentang pertemuan ini. Jadi izinkan aku memberi tahumu” Pintanya.
“Baiklah, siapa yang
kau maksud? Tanyaku.
“Aku melihat Dayu
dengan seorang wanita, tidak begitu cantik tetapi sangat sedap dipandang,
bertubuh mungil dan memiliki pipi yang chubby. Ini bukan seperti wanita biasa,
aku merasa ada sesuatu antara Dayu dengan wanita ini.” Tukasnya panjang.
“Clau, tak ada
hubungannya Kak Dayu dengan aku. Siapapun wanita itu biarlah. Mungkin itu
pacarnya, atau sepupunya, atau mungkin sahabatnya atau teman dekatnya. Ah
tidak, teman dekatnya adalah aku.” Ungkapku.
“Ris, seharusnya kamu
lebih tahu daripada aku karena kamu berteman baik dengannya dan kamu
sahabatnya. Kamu tidak pernah sekalipun melihat Dayu membawa seorang gadis
kerumahnya?” Tanya Claudia.
“Mungkin pernah, lalu
kalau memang itu pacarnya apa hubungannya dengan kita? Tukasku.
“Karena setalah
percakapan mesra antara Dayu dengan gadis itu, Ryan datang dengan wajah yang
memerah marah. Aku rasa aku tahu kini alas an Ryan memutuskan hubungannya
denganmu.” Ujar Claudia.
“Apa?? Yasudah,
biarlah..”
“Yasudah? Biarlah?
Hanya itu responmu? Kamu tidak pernah benar-benar mencintai Ryan?”
“Hmm.. Lalu responku
harus seperti apa Clau? Kamu bias menjawab sendiri pertanyaanmu hanya dengan
mendengar responku yang seperti ini kan?”
“Ahhh… setidaknya, apa
kau tidak ingin tahu apa yang akan terjadi pada Ryan setelah hubungan kalian
berakhir? Apa hanya aku yang merasakan seperti itu ketika baru saja putus
dengan mantanku?"
“Tidak. Mungkin hanya
kau saja yang seperti itu.” Ujarku.
“Baiklah, dunia ini
memang sangat sempit. Dan ketika Dayu tahu kamu adalah mantan pacar dari Ryan
mungkin…”
“Kamu yakin gadis itu
pacar Dayu?” Potongku.
“Aku sangat yakin,
karena Dayu mencium kening gadis itu.” Jawabnya.
“Oh, baiklah.”
“Hanya begitu
jawabanmu, kamu hanya menghabiskan pulsamu untuk membicarakan ini kalau kamu
benar-benar tidak ingin tahu tentang Ryan.” Gerutu Claudia.
“Oke waktu bicara kita
habis, sampai ketemu hari senin ya. Aku mencintaimu clau. Bye.”
*****
Kututup panggilanku kepada Claudia, lalu terlintas
difikiranku ‘apa reaksi Dayu ketika tahu
aku adalah mantan Ryan. Dan ada apa diantara mereka bertiga.’ Ku harap aku
tak akan pernah terseret dalam kisah yang menyulitkan lagi ketika
disangkut-pautkan dengan Ryan. Sudah cukup hubungan tak normal antara aku
dengan Caca yang terjadi karena Ryan. Hanya karena Caca tahu ada hubungan
antara aku dan Ryan lalu dia membenciku sebegitunya, membenci setiap hal yang
aku lakukan, mengamati setiap jengkal langkahku dan mencibirnya. Haruskah aku
berteriak ditelinga Caca, mengatakan bahwa ‘Aku
tak pernah meminta di cintai oleh Ryan dan aku tak pernah tahu bahwa Ryan cinta
pertamanya!’
Apa hebatnya Ryan dimata para wanita, pria yang
bergaya romantis ala-ala actplay Romeo-Juliet. Bahkan kalaupun dia Romeo aku
enggan menjadi Julietnya. Bahkan jantungku tak pernah berdetak cepat secepat
aku bertemu Jefrran saat Ryan memberiku kejutan. Bucket bunga dan boneka
beruang? Romantis? Aku kejutan berbau romantis, kecuali pemberian Ryan.
Aku tak membencinya, hanya saja aku seperti terpaksa
menjalani pilihanku sendiri untuk terus bersamanya. Tak ingin menggenggam tapi
tak bisa melepaskan genggamannya.
I hate the feeling when you have to say ‘Goodbye’ to
someone you want to ‘Spend’ every minute with.
-Irisan Lemon-

Komentar