Bitter-Sweet story 17 (1)
Monochrome
Cinta itu hitam-putih atau abu-abu??
Yang
membuatku menjadikanmu tempat menangis akan semua kesedihan dan lukalama-ku
adalah sebuah kepercayaan. Namun yang membawaku memiliki jarak sejauh ini
padamu juga adalah sebuah kepercayaan. Aku percaya bahwa bila kau tak
mempercayaiku sebagai tempat berbagi kisah kelam dan sedihmu, maka aku bukanlah
seseorang yang kau cintai. Itulah alasanku melangkah mundur menjauh walau
namamu masih terukir indah direlungku.
😊😊😊😊😊
Setelah saat itu, saat-saat indah
yang pernah kita jalani. Malam-malam berbintang yang pernah kita nikmati,
hembusan angin malam yang menyentuh lembut kulit kita, tetesan air hujan yang
kita hindari, hangatnya perbincangan malam kita. Sejauh ini semua itu terekam
jelas dimemoriku.
Sudut
pandang yang ku ambil untuk kisah kita bukanlah sudut pandang orang ketiga.
Disudut pandang orang pertama inilah aku berharap kisah kita akan berjalan
sebagaimana mestinya dengan akhir yang indah tanpa ada orang ketiga muncul
pertengahan cerita sebagai konflik. Tidakkah perpecahan yang disebabkan oleh
orang ketiga sudah terlalu biasa? Bahkan sampai saat ini aku masih menginginkan
akhir yang indah untuk kisah kita.
Masih
ingatkah kita pernah banyak bermimpi. Pernah kita balut mimpi-mimpi indah kita
dengan doa. Atau mungkin saat ini disana masih menggema doa untuk kita? Namun
tak ada kata terindah selain ‘maaf’ karena telah menghentikan doa-doa indah
untuk mimpi indah kita. Entah disana tersedia kah tempat untuk meletakkan
permohonan maafku. Mungkin semacam kerang yang membalut kapas putih sebagai
alas mutiara. Aku tak bercanda, aku berharap permohonan maaf ini bisa
diletakkan bersebelahan dengan mutiara yang ada didalam hatimu.
Malam
yang begitu terang, cahaya putih menghiasi malam itu. Senyum yang datang
didepan pagar menyegarkan kepenatanku sepanjang hari itu. Alasan klasik yang
digunakan oleh pemilik senyum itu ku ‘iya’ kan, bukan karena aku ingin
menghibur diriku. Keegoisanku ingin terus bersamamu dan menikmati nyamannya ada
didekatmu adalah jawaban dari aku meng’iya’kan alasan klasikmu. Saat itu cahaya
putih seakan menyorot kita berdua karena tak sengaja kita gunakan kaus hitam. Sebegitu
indahnya kah kisah kita? Sehingga bintangpun ingin menjadi lighting untuk kisah
kita yang akan kita pentaskan dipanggung.
Perjalanan
kecil yang kita lalui untuk sampai ke tujuan begitu sejuk. Semilir angin menabrak
lembut wajah kita pada kecepatan rendah sepeda motormu. Begitu hening,
perjalanan kecil yang terasa sangat membahagiakan ditemani dengan cahaya putih
dari bintang kita. Keheningan yang membuatku ingin terus berada didekatmu,
disisimu, selamanya…
Keheningan
yang terbalut senyum indahmu. Dari belakang sini aku terus mengamatimu,
menikmati indah senyummu dari kaca spion. Dari belakang sini aku akan terus
menjagamu, tak peduli apa yang akan kulalui selama kau bisa bersama senyummu
itu aku akan terus menjauhimu dari kesedihan. Begitu pikirku saat itu.
Berkat
keheningan itu aku bisa mendengar degub jantungmu yang tak beraturan. Berkat
keheningan itu aku bisa menikmati senyum dan degub jantungmu yang beriringan.
“Aku senang dekat denganmu” bisikku. Senyum itu melebar dan degub jantung itu
semakin tak beraturan. Memelukmu. Aku tak kuat menahan melodi degub jantungmu
yang kau hiasi dengan senyummu, kemudian aku memelukmu, dari belakang. Cahaya putih
dari bintang-kita semakin jelas terlihat menyinari perjalanan kecil kita. Saat
itu kita benar-benar menjadi karakter utama dikisah hitam-putih kita yang entah
kapan akan dipentaskan dipanggung.
Kisah
hitam-putih yang begitu indah tanpa ada karakter antagonis. Perfect! Duduk
bersebelahan denganmu. Menemani kesibukkan mu untuk merajut masa depanmu.
Menentukan pilihan dimana engkau akan menapakan kakimu untuk berdiri tegak
meniti impian dan masa depanmu. Bagiku dimanapun kau berada selama Tuhan
menghendaki mu menjadi partner hidupku, kau akan terus disisiku. Begitu
pikirku. “kalau kamu maunya aku dimana? Ada tiga tawaran.” Ucapnya lembut. Aku
hanya menatap layar PC, aku pikir aku takkan mampu menjawab pertanyaannya jika
ku lihat kerling matanya. Saat itu aku hanya ingin dia bahagia bersamaku tanpa
harus ku angkat tinggi keegoisanku untuk terus ada didekatnya. “Dimana aja aku
gapapa kok. Yang penting kamu nyaman. Jangan pilih dari materi ya, pilih yang kamu
suka prosesnya. Itu cukup.” Begitu jawabku sambil menatap layar PC. Tahukah
kamu, sejujurnya jika kau ingin tau saat itu aku takut kau jauh dariku dan
melupakanku karena orang ketiga. Namun, aku ingin kau bahagia karena beriringan
dengan impianmu, denganku dan jarak kita…
Tangan
itu tak kusangka menghapus lembut bulir keringat dikeningku. Suhu diruangan ini
sungguh hanya menunjukan 25° C. Bulir keringat ini timbul karena panasnya
gejolak dihatiku duduk bersebelahan denganmu. Harus sampai begini kah? Sudah
hampir satu bulan kita resmi berpacaran namun kegugupan masih saja menyelimuti
pertemuan-pertemuan singkat kita. Masih terekam jelas diingatanku setiap
gerakmu saat kita bersama. Saat-saat hujan menjebak kita. Aku menyukai hujan.
Hanya dimulai sejak saat itu. Karena saat itu aku bisa bersama denganmu lebih
lama berkat hujan. Hingga ku beri julukan pada diriku sendiri bahwa aku adalah ‘Peri Hujan’. Dua ribu dua belas.
Bau
hujan yang begitu khas, ku hirup dalam-dalam. “udah lumayan terang nih pulang
yuk nanti kamu dicariin mamah kamu” ujarnya sambil mengigit jajanan ringan yang
ia beli diwarung seberang jalan. Perjalan pulang kami kali ini ditemani rintik
hujan. Rintik yang begitu sejuk. Rintik yang berkilau bak cercahan cahaya
bintang. Rintik-rintik putih bening ini, benarkah ini jelmaan kepingan cahaya
putih dari bintang kita yang selalu menyinari hitamnya malam kita berdua?
Rintik hujan dan kilauan cahaya putih aku mulai menyukai mereka saat itu…
Entah
alasan apa yang membuat kesalahpahaman kita terus belanjut tanpa penyelesaian
yang jelas. Jarak. Kedua-dua dari kita selalu menyalahkan jarak. Jarak kita
yang semakin jauh, intensitas pertemuan kita yang semakin sulit, kesibukkan
dari masing-masing kita yang benar-benar sulit diatasi menjadi alasan
pertengkaran klasik tak berujung kala itu. Malam-malam tampak gelap tanpa
cahaya putih dari bintang-kita.
Kisah
indah yang penuh dengan canda tawa, kecanggungan dan kegugupan itu berakhir
begitu saja dalam satu jam pertengkaran via telepon. Belum sempat kita
mewujudkan keinginan kita bertemu akhir pekan nanti, namun pertengkaran ini
sudah lebih dulu mengantar kita pada akhir kisah. Malam itu bahkan airmata tak
bisa menetes. Entah airmata ini membeku atau masih terbendung dihati yang
terdalam. Yang jelas malam itu, langit sangat gelap bersama hujan dan tanpa
cahaya.
Kenangan
demi kenangan ku hitung ulang dijalan ini, dijalan yang pernah kita lalui
berdua. Langkah demi langkah ku tapaki tanpa kehadiranmu. Ingin ku buka hati
untuk orang lain yang selalu memayungiku dari teriknya matahari dan tajamnya
rintik hujan. Namun, bibir dan hati tak pernah sinkron. “Iya, aku juga kangen
kamu. Minggu depan aku pulang, nanti aku kerumah kamu yah.” Ujarnya dengan senyum,
dalam mimpiku pagi itu… hanya mimpi. Mimpi yg berpuluh-puluh kalinya. Saat aku
terbangun karena mimpi itupun aku masih belum tersadar bahwa ‘Kita’ telah usai.
Tetesan airmata itu baru bisa menghujaniku saat aku tersadar aku hampir saja
menghubungimu via telepon.
Kicau
burung gereja pagi itu terdengar seperti sedang mengalunkan melodi lagu sendu.
Tak seceria biasanya, burung-burung ini membirukan hatiku yang sudah biru 4
bulan lalu. Matematika, jawaban dari semua soal matematika berdasarkan logika, namun
sesulit ini kah. Aku membenci matematika seperti halnya aku membenci logika
yang kau mainkan saat pertengkaran kita saat itu.
“Tanggal
21 ya. Bikin sedih aja.” Gumamku.
Kertas
putih ini masih benar-benar kosong, belum ada coretan tinta selain angka 2 dan
1 di kolom tanggal di pojok kanan atas buku ku. Suasana ramai kelas ini terasa
amat sendu dan sepi. Kemelankolisan hatiku bertambah dalam saat teman
sebangkuku bertanya sembari menepuk pundakku. “tiap bulan saat tanggal 21 kamu
semakin parah ya sedihnya. Balikkan aja gih kalian. Dia udah punya pacar belum
sih?”
“Sudah.
Pacarnya cantik.” Jawabku menahan perihnya sayatan dihati.
Kesedihan
yang tak berujung membawaku perasaanku semakin dalam padanya. Aku yang
sebelumnya adalah penikmat malam kini takut malam hadir. Aku menantikan
matahari saat hitamnya malam menemaniku, namun aku tak mengharapkan malam
kembali hadir saat sedang menangis bersama matahari. Bahkan teriknya matahari
terasa sangat gelap, hitam, tanpamu. Seragam putih abu-abu yang ku kenakan
membuatku semakin tersorot saat cahaya hitam matahari menyapa ku. Sejak saat
itu, pagi, siang, sore dan malam ku terasa sangat gelap, hitam pekat tanpa
setitik cahaya putih ujung jarumpun. Sejak saat itu pula aku gemar memakai
pakaian putih. Alasannya begitu mendasar, agar aku tetap tersorot didalam kisah
hitam-putihku ini.
Siraman hujan malam itu seakan melampiaskan
kemarahannya padaku yang begitu pengecut menghadapi kenyataan. Peri hujan yang
biasanya merindukan hujan kini melemah karena berlama-lama bersama hujan
digelap malam tanpa hadirmu. Hatiku ingin melupakanmu. Jarak kita harus semakin
jauh. Agar kemungkinan pertemuan kita hanya 0,1%.
“Iya
mah, aku yakin ingin belajar diluar kota. Aku hanya akan pulang 6 bulan atau 1
tahun sekali aku ingin fokus belajar.” Ujarku mantap.
Malam
dikota ini selalu ditaburi jutaan bintang. Sungguh indah warnanya. Cahaya dan warna
kerlipan bintang yang kulihat disini tak hanya putih, ada yang semerah
strawberry, ada yang sebening hijaunya melon, se-ungu lavender, secerah
kuningnya bunga matahari, sejingga senja pantai pulau pari, sebiru samudera dan
begitu melimpah warna cahaya bintang dilangit hitam itu. Anginnya pun berhembus
lembut dan menyejukan kulitku. Namun tetap saja sejuta bintang disini terasa
gelap tanpa mu. Kuhabiskan tiap malamku dengan menangisi mu, mengenangmu, kita,
dan mengenang harapan-harapanku. Tak pernah kulewatkan semalam pun tanpa
membasahi bantal ku. Tak pernah kulewatkan seharipun malakukan aktifitas pagi
tanpa mata membengkak.
Saat
denting hujan mengetuk genting kamar kosku, dering ponselku pun bermelodi
kencang. Telepon dari si pemilik senyum didepan pagar rumahku. Telepon dari si
pemilik degub jantung yang berdetak kencang dan tak beraturan kala itu. Telepon
yang entah keberapa kalinya semenjak sekitar sebulan lalu ia menghubungiku
kembali. Dia tak pernah tau betapa bahagianya aku hanya mendengar suaranya. Dia
tak pernah tau seberapa kerasnya aku berusaha terlihat bodoh diseberang
teleponnya agar ia bersedia untuk terus menjelaskan ketidakpahamanku. Dia tak
pernah tau berapa puluh kali aku menatap arloji di tanganku menunggu pesan atau
telepon darinya. Dia tak pernah tau seberapa sakitnya aku berusaha menghentikan
harapanku. Dia, hanya kasihan padaku si pemilik kisah hitam-putih yang monoton
ini. Alasan mengapa ia terus menghubungiku, hanya karena hidupku terlalu Monochrome dibawah jutaan kerlipan
cahaya bintang.
“udah
dulu ya. jangan telepon atau sms aku sebelum aku yang hubungin kamu duluan.
Nite” begitu ujarnya via pesan text setiap hari.
Ada
sesuatu yang hidup didalam sini. Disini. Dibalik dada ini, ia terasak sesak dan
perih. Entah apa yang menancap disana, sesesak dan sesakit inikah rasanya patah
hati? Aku yang terlalu berharap pada seseorang yang bahkan sudah mengukir indah
nama wanita lain dihatinya. Wanita yang jauh lebih baik, lebih cantik, lebih
dewasa, dan lebih segalanya dariku. Wanita yang baru kali ini ia cintai sepenuh
hatinya. Wanita yang tak pernah bisa aku menjadi lebih baik darinya…
Setelah
bertahun-tahun ku jalani kehitam-putihan hidup ku, sudah mulai terbiasa aku
dengan kerinduan tak berujung ini. Sudah tak bisa menetes lagi airmataku karena
rindu yang meluap untukmu. Sudah bisa sejahat mafia yang menjalin kasih dengan
seseorang lain tanpa benar-benar menyimpan rasa untuknya. Sudah tak terkejut
merasakan rasanya mencintai dan merindukan seseorang namun menjalin kasih
dengan seorang yang lain. Kelamnya malam berbintang ini selalu menemani
kerinduanku. Dibawah cahaya bintang ini kisahku begitu hitam pekat tanpamu.
Setelah
bertahun-tahun aku bisa menahan semuanya. Rindu, cinta, senyum, degub jantung,
kenangan sudah tertata rapih diloker kenangan. Entah apa, entah bagaimana, kita
bisa bertegur sapa lagi. Langitku yang gelap, disinari setitik cahaya putih.
Hidupku yang monoton kini begitu penuh tantangan. Kisahku yang monochrome,
masih kah akan tetap monochrome?
“Heyy..”
ujarnya via online chat.
Dari
satu kata ini lah semua berawal. Jarak yang seakan menari ulur kita. Jarak
tempuh, juga jarak hati. Dari sinilah semua kesalahpahaman kembali datang dan
pergi dengan penyelesaian yang indah. Dari sini pula kekecewaan memenuhi ruang
hati yang penuh dengan kelopak bunga mawar putih. Dari sini kita berakhir
seperti ini. Tak ada yang tau, engkau maupun aku, ini adalah akhir atau awal
bagi kita. Sampai saat ini aku tak tau Kisah MonochRome ini milik kita atau hanya milikku. Yang aku tau, aku pernah
sangat mencintaimu dan tak pernah menyesal kau hadir dalam gelapnya
hari-hariku.
Ku
buka buku diary pink bergambar piglet yang kusimpan sejak setahun ini.
Kekecewaan ini sangat pedih untuk kusimpan sendiri, namun menceritakan pada
seseorang juga bukan hal yang baik. Ingin sekali rasanya ku curahkan segala isi
hatiku sembari membendung airmata. Semua kepahitan hidupku, masalalu kelamku,
kesedihanku selalu ku ceritakan padanya. Sesekali terlintas hasrat ingin
memeluknya sampai habis isak tangisku, hanya memeluk tanpa kata. Kini, untuk
kedua kalinya akan sangat sulit bagiku hidup tanpa hadirnya si pemilik degub
jantung yang berdetak tak beraturan itu. Sekali lagi aku merasa lirihnya hidup
dalam kehitam pekatan yang berlumur kekecewaan. Menuliskan semua perasaanku
pada buku diary inilah salah satu cara mendapat teman curhat.
I remember something, at the
time I felt disappointed with him. I don’t text him or call him for days. But,
who knows, he defeat his ego. He tried to make me laugh as usual, he worked
hard for it. I should appreciate it and stay with him. In fact, I decide to go
away from his life. I’m gone. Ya, there’s a lil regret. Whata dumb I am.
There’s no reason why we were so noiseless when our heart screaming louder, we
won’t this happen.
Actually, besides I really
want to reach our dreams, I want to live next to him forever, see his smile
every second I want, become the first person he sees when he just woke up,
laughing his jokes every time, and hear his heartbeat every time I give him a
hugs. But, this disappointment will stay for long. This scars will stay
forever. Even though from my deepest heart there’s still lil love for him and
haven’t yet forget all about our beautiful memories. And, today, Please, don’t
ever come back to my live for a while. Please, disappear from my monochrome
story for a while.
Until God says
“just
go back, both of u, now!”
Moza
Yesa Ananda
2016-09-16,
Yogyakarta.
😊😊😊😊😊
Tak
ada sedikitpun yang kulupakan. Hanya saja aku tak mau mengungkitnya didepanmu.
Aku tak mau terlihat mengejarmu adalah alasan aku berpura-pura lupa tentang
kenangan kita…
Komentar